Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rusmulyadi; Pengajar, Penulis, dan Peneliti.
Rusmulyadi; Pengajar, Penulis, dan Peneliti.

Kita Butuh Jalan Baru (Catatan Penghujung Ramadhan 1443 H)



Kita Butuh Jalan Baru (Catatan Penghujung Ramadhan 1443 H)
Oleh ; Rusmulyadi
Pengajar, Penulis, dan Peneliti.
Iklan Idul Fitri KPU Pohuwato

Kendati usianya relatif pendek, hanya sekitar 50 tahun, dia adalah ilmuan besar yang membuat sejarah dengan karya-karyanya yang besar. Ia tercatat sebagai pencetus pertama ilmu ushul fikih (ilmu cara mengeluarkan hukum) dan Ar Risalah (Missi) adalah kitabnya yang sangat terkenal dalam bidang Ushul fikih.

Imam Syafei mengisi hidupnya dengan pengembaraan, menimba ilmu pertama di Mekkah, kemudian belajar hadits dari Imam Malik di Medina, lalu belajar hukum di Baghdad (Irak) kemudian pergi ke Yaman untuk menimbah ilmu. Pada kunjungan kedua kalinya ke Irak ini Imam Syafei mulai mengeluarkan pendapat pendapatnya, lalu kembali ke Mesir 199 H (815 M). Selama lima tahun tinggal di Mesir, Imam Syafei menghasilkan buku yang monumental / populer yaitu Al’um (Ibu) yang membahas mengenai fikih/hukum, dan Ar Risalah. Kedua buku ini menjadi rujukan utama di banyak pesantren di Indonesia.

Satu hal penting lainnya yang melekat pada dirinya yaitu keberanian mengubah pendapatnya, ketika dia berada di Irak dan kemudian di Mesir yang dikenal dengan “pendapat lama” dan “pendapat baru”. Perubahan inilah yang kemudian dijadikan senjata oleh kaum modernis zaman sekarang untuk melegitimasi pendapatnya, bahwa dalam soal hukum aturan harus berubah sesuai dengan tempat dan waktu (locus dan tempus). Keberanian mengevaluasi diri (tabayyun) membuat dirinya banyak dikagumi para cendekiawan muslim Karena itulah, pendapat Imam Syafe’i bukan saja mendapat di kalangan masyarakat Mesir, tetapi sudah menyebar ke negara-negara Islam di seluruh penjuru dunia, mulai dari Afrika, Yaman, Bahrain, Malaysia, sampai Indonesia.

Point penting yang dapat menjadi pembelajaran bagi kita, adalah kemampuan adaptasi dan evaluasi terhadap pendapatnya, sehingga tak ada kemutlakan atau ego yang nampak dari kepribadiannya. Hal ini, tentu saja berbeda dengan kita yang terkadang melakukan aktifitas ibadah dan spiritual tanpa mempedulikan lingkungan masyarakat di mana kita berada, malah terkesan kita terjebak dengan apa yang disebut ego spiritual.

Keberadaan ego spiritual ini, terjadi ketika orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikal nya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Sebab yang berkecamuk dalam dirinya adalah duniawi yang lebih menekankan ego individualitasnya. Bahkan sengaja menghitamkan dahi di atas keningnya supaya ada pembeda dengan muslim yang ibadahnya masih di bawah level. Padahal, jika mereka bercermin pada prilaku Imam Syafei tentu akan membuang jauh-jauh prilaku yang jauh dari kesombongan dan tidak akomodatif dengan kondisi yang ada disekitarnya.

Nilai-nilai yang kontradiktif (bertentangan) dengan yang ada, inilah yang sesungguhnya menumbuhkembangkan faham yang dianggap radikal, sehingga tiadanya kesatuan/solidaritas dan kosongnya kepemimpinan ummat.

Pada kondisi seperti inilah, hemat saya (kita) butuh “jalan baru” dalam menggapai tantangan zaman. Jalan politik yang selama ini menjadi prioritas utama, dan seolah menjadi “kunci Inggris” yang bisa menyelesaikan segala masalah , sudah selayaknya tak lagi menjadi jalan utama. Dan perlu pula dicermati, lazimnya politik selalu naik dan turun, sehingga hanya menimbulkan reaksi balik yang tak kalah destruktif nya.

Jadi, jika mengacu pada realitas yang ada, maka yang dibutuhkan adalah langkah praktis yang berujung pada visi. Kita teringat filosofi BJ Habibie dalam transfer tehnologi: memulai dari akhir dan berakhir di awal. Tema-tema seperti modernisasi, reaktualisasi, rasionalisasi, pribumisasi dsb dst ternyata hanya slogan yang tak membawa kemajuan yang signifikan. Akan tetapi, justru makin memunculkan problem-problem yang lebih serius.

Bahkan, tidak hanya itu, tetapi problem umat masih tumbuh subur seperti kemiskinan, keterkebelakangan, dan kebodohan. Untuk itu, mereka butuh langkah konkrit keluar dari tiga lilitan itu sambil terus memperkokoh iman. Ketika merebak kemiskinan dan keterkebelakangan misalnya, solusinya mestinya melalui analisis dan aksi sosial secara empiris dan terukur (Komarudin Hidayat).

Maka, ibadah puasa ramadhan 1443 H ini yang kita harapkan bukan saja pembentukan kesalehan individual, tetapi juga yang tak kalah pentingnya adalah pembentukan kesalehan sosial, agar umat dapat menemukan “jalan baru” untuk menuju kesejahteraan sosial sebagai tujuan kehidupan berbangsa.