Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Keresahan Warga Negara Vs Kepanikan Simbol Negara

Keresahan Warga Negara Vs Kepanikan Simbol Negara



Penulis:
Rifyan Ridwan Saleh
(Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Jayabaya Jakarta & Wakil Bendahara Umum PB HMI Bidang Hukum dan HAM)

Pemikiran tidak dapat diperjarakan, jika pemikiran seseorang dihakimi hingga dipenjarakan itu artinya kita merintangi dan mengkebiri kehidupan berdemokrasi. Salah satu fungsi hukum pidana adalah menanggulangi kelakuan atau perilaku tidak normal yang menyerang kepentingan individu, sosial (masyarakat), dan negara. Jadi seseorang dihukum bukan atas apa yang dipikirkannya melainkan apabila pemikirannya menggangu individu lain, masyarakat dan negara.

Ekspresi kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) yang menjuluki Presiden Joko Widodo sebagai “The King Of Lip Service” adalah fakta moral yang mewakili keresahan publik yang telah kehilangan kepercayaan atas legitimasi moral para penguasa utamanya Presiden sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan.

Konsep bernegara atau pemerintahan oleh Aristokles ‘nama asli dari Plato’ premis utamanya adalah ide. Ide-ide merupakan inti dasar dari seluruh pemikiran Plato tentang negara hukum. Maka ide tidak bisa dibatasi oleh siapapun dan harus hadir dari semua instrumen negara, termasuk warga negara atau rakyat.

Keresahan Warga Negara Vs Kepanikan Simbol Negara

Rakyat atau warga negara dan negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat kita pisahkan. Rakyat dan negara tidak mengenal perbedaan yang signifikan. Artinya bahwa dalam konteks ini, ‘rakyat adalah negara dan negara adalah rakyat.

Untuk memahami konskwensi dan mendapatkan penjelasan dari konsep ini, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki pengetahuan (virtue) “yang melampaui”, apa yang disebut dengan “The Philosopher King” bukan “The King of Lip Service” seperti apa yang sedang viral saat ini oleh kawan-kawan BEM UI.

Kemampuan pemimpin untuk memahami tujuan bernegara dari sebuah negara hukum sangatlah penting, karena jika kemampuan dasar ini tidak dimiliki oleh seorang pemimpin maka akan terjadi disintegrasi dan disorientasi prinsip-prinsip konstitusi dan demokrasi dalam negara hukum.

Dalam demokrasi, kebebasan individu dan pluralisme politik sangat diagungkan, dan setiap warga negara bebas berekspresi tanpa sedikit pun harus merasa khawatir akan diintervensi oleh negara, dengan tetap menghormati prinsip-prinsip sesama warga negara sebagai komitmen bernegara.

Saat ini, negara kita sedang tidak baik-baik saja. Hal ini terjadi dalam segala bidang, baik politik, hukum, ekonomi bahkan carut marutnya negara dalam menangani Covid-19. Maka wajar jika setiap warga negara memberi atensi yang dimanifestasikan dalam bentuk kritik maupun solusi yang berbeda-beda sebagai bentuk atau cara mengaktifkan nalar kritis atau ide para penguasa pemerintahan dan segala instrumennya, seperti apa yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa BEM UI.

Untuk merespon seperti apa yang dilakukan oleh kawan-kawan aktivis seperti apa yang dijelaskan diatas tidak perlu menggunakan kekuatan hukum, sebaliknya menjawabnya dengan pembuktian (berfikir, kerja, kerja, kerja). Sebab warga negara memiliki kewajiban untuk memberi suplay dalam berbagai hal kepada negara, bukan saja hanya dalam bentuk pajak tetapi juga dalam bentuk pikiran. Agar negara dan tujuan dibentuknya dapat segera tercapai.

Penulis berharap apa yang dilakukan oleh kawan-kawan aktivis mahasiswa BEM UI dapat menjadi ‘dorongan’ bagi penguasa agar berupaya maksimal menjawab keresahan publik dan menjadi contoh bagi rakyat dan elemen-elemen lainnya untuk secara tegas dan lugas merespon kegelisahan publik dengan sedikit terbuka selain dalam bentuk ‘kritik’ juga memberi bonus berupa ‘solusi’ kepada para penguasa.

Iklan Idul Fitri KPU Pohuwato