Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Merespon Aktivis di Dipidanakan Negara

Merespon Aktivis di Dipidanakan Negara



Berita Baru, Jakarta – UU ITE mencakup spektrum yang terlalu luas, sangat multitafsir dan kini menjadi alat untuk menutup ruang ekspresi dari cara-cara yang beragam orang-orang di era digitalisasi hari ini untuk menyampaikan aspirasinya. Dan jelas, ini sangat kontra dengan Hak Asasi Manusia.

Dipidanakan; ancaman pidana selalu mengincar para aktivis ini untuk menyuarakan aspirasinya. Belum lagi ditengah pandemi hari ini, cara negosiasi merespon regulasi, atau terburuknya adalah demonstrasi sebagai langkah terakhir advokasi sosial tapi tentu saja ini harus dibendung ditengah penangan pandemi saat ini. Tapi sayang, lewat media sosial pun ekspresi ini dibungkam bahkan harus dipidakan.

Mereka ‘penegak hukum’ harus mengingat bahwa hukum pidana bersifat ultimum remedium atau sarana terakhir, maka pemerintah sebagai penanggung jawab regulasi atau UU perlu menyusun ulang kualifikasi dan ruang lingkup UU ITE yang multitafsir ini.

Mereka ‘pemerintah’ perlu memulai untuk menerapkan pendekatan lain dalam mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus UU ITE tanpa penyalahgunaan hukum pidana.

Terbaru, penangkapan terhadap aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Pemerintahan Universitas Pattimura yaitu saudara Risman Solissa itu dijerat Pasal 45A Ayat (2) dan atau Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan kurungan badan enam tahun penjara.

Tidak memperhatikan dan mempertimbangkan Surat Telegram bernomor ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tertanggal 22 Februari 2021, yang ditandatangani langsung oleh Wakabareskrim Irjen Wahyu Hadiningrat atas nama Kapolri. Pasal-pasal yang layangkan kepada saudara Risman Solissa adalah tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara Restorative Justice atau keadilan restoratif.

Sekali lagi penulis sampaikan, harus dikedepankan asas Ultimum Remedium yang artinya bahwa suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui. Negara dalam hal ini pemerintah dan penegak hukum tidak boleh ‘terlalu’ represif dan anti terhadap aspirasi para aktivis.

Penulis;
Rifyan Ridwan Saleh
Wabendum PB HMI Hukum dan HAM