Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Walhi Sebut Oligarki Pemerintah Penyebab Bencana Alam di Indonesia
Gambar Bencana Banjir di Kalimantan Selatan, (Foto : Istimewa)

Walhi Sebut Oligarki Pemerintah Penyebab Bencana Alam di Indonesia



Iklan Idul Fitri KPU Pohuwato

Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang menuding kelompok oligarki di lingkaran pemerintah menjadi salah satu penyebab rentetan bencana alam di sejumlah wilayah Indonesia dalam beberapa pekan terakhir ini. Sabtu, (30/1)

Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif Nasional Walhi, mengatakan bencana alam bisa diklasifikasi menjadi dua, yakni bencana yang disebabkan oleh posisi Indonesia pada tiga pertemuan lempeng besar dan bencana ekologis.

Menurut Nur, bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan bisa dicegah dengan memelihara lingkungan serta sumber daya alam.

Mengutip data BNPB, dalam rentang 1 Januari-3 Desember 2020 banjir menjadi bencana paling banyak terjadi, dengan total 969 kejadian. Disusul puting beliung 809 kejadian, tanah longsor 514 kejadian, serta kebakaran hutan 325 kejadian.

Melalui siaran langsung di akun Youtube Bersihkan Indonesia, Jumat (29/1) Direktur Walhi “Sejak masa Orde Baru sampai hari ini,   kita saksikan sumber daya alam kita dikelola secara tidak adil. Walaupun konstitusi sudah menyatakan bahwa sumber daya alam itu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” katanya

Dimana menurut catatan Walhi pada 2018, setidaknya 103,4 juta hektare daratan di Indonesia sudah dibebani izin usaha, mulai dari sektor kehutanan, perkebunan, mineral dan batu bara sampai wilayah kerja minyak dan gas.

Pada 2019, Kementerian Pertanian menetapkan tutupan perkebunan sawit menyelimuti 16 juta hektare lahan nasional. Nur mengatakan luas ini setara 1,2 kali luas pulau Jawa. Itu pun belum termasuk perkebunan sawit yang berdiri secara ilegal.

Nur juga menyinggung ikatan erat antara pemerintah dan pengusaha. Ia mengutip studi Tempo yang mengungkap 45,5 persen atau 262 anggota DPR terafiliasi dengan 1.016 perusahaan. Menurutnya, dari izin yang diterbitkan, 60 persen daratan di Indonesia sudah dialokasikan untuk korporasi.

Mengacu pada data tersebut, ia mengaku tak heran sejumlah beleid kontroversial yang diduga menguntungkan korporasi seperti UU Cipta Kerja hingga UU Mineral dan Batubara lolos di parlemen.

“Ini kondisi tali temali tadi, oligarki, perkawinan elit ekonomi dan politik,” ujarnya.

Sementara peraturan perundang-undangan yang mendorong kegiatan ekstraktif seperti penggundulan hutan hingga penghancuran lahan gambut, lanjut Nur, berperan besar dalam menyumbang emisi gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim.

“Jadi sekarang kita sedang berada dalam lingkungan setan. Karena dampak perubahan iklim itu cuaca ekstrem, curah hujan tinggi, angin puting beliung. Tapi kita tidak sadar dan terus lakukan eksploitasi. Jadi kita ibarat gali lubang kubur sendiri,” tuturnya.

Untuk diketahui sebelumnya Presiden Joko Widodo hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim penyusutan luasan hutan bukan faktor utama banjir di Kalimantan Selatan, melainkan perkara cuaca ekstrem. (**)