Validasi BPN & Asas Contrarius Actus (Episode 14)
“Catatan Monitoring Sidang”
Berita Baru, Gorontalo – Senin (19/4), agenda pemeriksaan dalam perkara Gorontalo Outer Ring Road (GORR) akhirnya sampai pada agenda pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada para terdakwa Apraisal maupun terdakwa AWB. Sidang yang dimulai pada pagi pukul 09:49 WITA sampai pukul 12:41 WITA.
Bersesuaikan dengan dakwaan JPU sebelumnya. Jaksa Penuntut Umum berkeyakinan bahwa para terdakwa (Apraisal-AWB) terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah mengurai fakta-fakta persidangan serta analisis yuridis, JPU menuntut terdakwa IB dan FS dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan. Serta menuntut terdakwa AWB dengan pidana penjara 1 tahun 10 bulan dipotong masa tahanan. Para terdakwa pun sepakat untuk mengajukan pembelaan terakhir (pledoi).
Dalam penjelasan JPU dalam surat tuntutan untuk terdakwa AWB, Jaksa menyatakan bahwa terdakwa selaku Kuasa Penggunaan Anggaran (KPA) bersama Kepala BPN Wilayah Provinsi Gorontalo tidak melakukan pengecekan terhadap hasil kerja dari Satgas A dan Satgas B. Kemudian, terdakwa melakukan pembayaran didasari hasil validasi ketua BPN tanpa melakukan pemeriksaan baik secara formil maupun materil. Padahal validasi yang akan dibayarkan didasarkan oleh Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (SPPF) yang diurus belakangan khusus untuk pencairan.
Pertanyaan kemudian, apakah terdakwa AWB punya kewenangan untuk melakukan validasi? Atau menyatakan invalidasi atas validasi yang dikeluarkan BPN? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka awak media kami melakukan wawancara kepada Ketua Tim Monitoring Sidang sekaligus Dosen di Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo Bapak Jupri, SH.MH.
Dalam keterangannya ia menyatakan sejumlah poin. Pertama, berdasarkan fakta-fakta persidangan akar persoalan Gorontalo Outer Ring Road adalah terkait keabsahan alas hak (baca: SPPF) atas tanah yang dibebaskan menggunakan dana APBD Provinsi Gorontalo. Kedua, Validasi oleh Kakanwil BPN Provinsi Gorontalo atas hasil verifikasi dan identifikasi dari Satgas A dan Satgas B berupa peta bidang dan daftar nominatif yang dinilai oleh Apraisal. Dimana menurut Jaksa Penuntut Umum masih belum layak untuk dilakukan validasi karena masih banyak alas hak yang kosong.
Sehingga menurutnya kata kunci terletak pada “Validasi BPN”. Karena validasi inilah yang diteruskan ke Pemerintah Provinsi Gorontalo untuk dibayarkan. Sebagaimana dalam Pasal 76 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 yang menyatakan pemberian ganti kerugian dalam bentuk uang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasar validasi dari Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah atau pejabat yang ditunjuk.
Artinya validasi yang dimaksud adalah dasar dilakukannya pembayaran oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam jangka waktu 7 (tujuh) kerja. Pertanyaan apakah bisa validasi yang dikeluarkan oleh BPN ditolak atau dinyatakan invalidasi oleh terdakwa AWB sebagai Kuasa Penggunaan Anggaran. Maka menurut pendapat Jupri, SH.MH tidak bisa. Adapun dasar argumentasinya adalah bahwa dalam Hukum Administrasi Negara berlaku asas Contrarius Actus.
Asas Contrarius Actus artinya tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya (secara otomatis) badan/ pejabat tata usaha negara yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk membatalkannya.
Oleh Philipus M. Hadjon juga menambahkan bahwa asas Contrarius Actus tetap berlaku meskipun dalam keputusan pejabat tata usaha negara tersebut tidak ada klausul pengaman yang lazim yaitu “apabila dikemudian hari ternyata ada kekeliruan atau kekhilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali. Sehingga dalam perkara validasi BPN ini dapat ditarik kesimpulan harus dilaksanakan oleh Kuasa Penggunaan Anggaran dalam hal ini terdakwa AWB sebagaimana Perpres Nomor 71 Tahun 2021. Apalagi pada Pasal 76 ayat 4 menegaskan pemberian ganti kerugian dilakukan paling lama 7 hari kerja sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah.
Kewajiban sebagaimana yang dilakukan oleh terdakwa AWB dalam konteks pertanggungjawaban pidana. Maka tindakan oleh AWB memenuhi Pasal 50 KUHP yang menyatakan “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”. Dimana dalam perkembangan lebih lanjut “ketentuan undang-undang” diartikan secara luas atau undang-undang dalam arti materil yaitu segala peraturan umum yang bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada Arrest Hoge Raad 26 Juni 1898, W. 7307.
Sebagai penutup, maka ia menambahkan agar Majelis Hakim dalam perkara GORR apabila terjadi keragu-raguan untuk mengingat asas In Dubio Pro Reo. Dimana jika terjadi keragu-raguan apakah terdakwa salah atau tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa yaitu dibebaskan dari dakwaan.