Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Foto : Suci Priyanti Kcs (Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Trisakti Jakarta)
Foto : Suci Priyanti Kcs (Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Trisakti Jakarta)

Perhiasan Daerah dan Ruang Merdeka bagi Perempuan



oleh Suci Priyanti Kcs (Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Trisakti Jakarta)

Perempuan telah lama menjadi pilar budaya di seluruh dunia, mereka membawa cahaya keragaman dan keindahan ke berbagai daerah. Mereka adalah perhiasan yang menghiasi lanskap budaya dengan keunikan mereka. Namun, di balik kecantikan ini, perempuan sering kali menghadapi berbagai rintangan yang menghalangi mereka untuk berkembang sepenuhnya. jika diibaratkan perempuan seperti bunga-bunga yang tumbuh di hutan rimba, telah lama menghadapi berbagai angin badai dan rintangan dalam perjalanan hidupnya. 

Semua mungkin tahu bahwa perempuan selalu punya peran penting dalam membentuk identitas budaya di seluruh dunia dan faktanya mereka juga memainkan peran yang sangat kuat dalam melestarikan tradisi, mengembangkan seni, dan menjaga warisan budaya. Seperti permata berkilau yang menghiasi perhiasan, perempuan dipandang memiliki kekuatan magis untuk menambahkan nilai berharga pada budaya dalam masyarakat. akan tetapi dibalik itu banyak pula yang “menormalisasi” fakta bahwa perempuan sering terjebak dalam ekspektasi tradisional yang membatasi potensi dan ruang merdeka berpikir serta bertindak sesuai dengan interpretasi hak asasi manusia pada umumnya.

lalu ada pertanyaan yang muncul “selain menjadi pelestari budaya, apakah perempuan kemudian diperbolehkan untuk membentuk budayanya sendiri?”, jawabannya secara normatif berdasarkan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tentu “diperbolehkan”, bahkan di dalam “the philosofische grondslag” negara kesatuan Indonesia memperkuat hal-hal tersebut. ditegaskan bahwa secara implementatif masyarakat Indonesia harus senantiasa memiliki adab dan menjunjung keadilan bagi setiap manusia tanpa pandang bulu ataupun jenis kelamin.

Namun, apakah hal ini diejawantahkan dengan baik dalam kehidupan sosial bermasyarakat?. tentu akan lahir banyak jawaban yang berwarna dari pertanyaan ini, bak melihat angka sembilan yang diputar 90 derajat, jika dilihat dari sebelah kiri maka akan tampak angka enam dan sebaliknya jika dilihat dari sebelah kanan akan tampak angka sembilan kedua-duanya benar dari sudut pandang masing-masing, begitupun dengan pertanyaan ini. Namun, pertanyaannya, apakah ekspektasi tradisional masih membatasi perempuan di daerah? Jawabannya jelas: ya. Meskipun sulit mengukur jumlahnya secara pasti. akan tetapi, penulis meyakini bahwa setiap perempuan yang merasakan kondisi ini, tentu tidaklah mudah baginya terutama secara psikologis.

Perempuan ibarat permata dalam penjara tak berpintu, di mana dindingnya terus bergerak hingga menghimpit dan menghancurkan permata tersebut berkeping-keping. benar jika dikumpulkan cercahan berlian tersebut maka tentu nilainya tidak akan berubah tapi bentuknya telah hancur bak abu. begitulah gambaran mental seorang perempuan yang hidup dalam tekanan “kultural” dalam masyarakat yang patriarki dan primordial. belum lagi persoalan stereotipe yang tumbuh dan berkembang serta mendarah daging di lingkungan kehidupan bermasyarakat.

Tentulah tidak mudah mengubah “cara pandang dunia”, atas persoalan ini. bisa kita lihat sejak berabad-abad hingga detik ini berita tentang pelecehan, prostitusi, perebutan hak atas hidup seperti “perjodohan”, diskriminasi, pemerkosaan hingga pembunuhan terhadap perempuan masih berkelana setiap harinya di berita harian. jika perempuan dipandang sebagai “pilar dunia” maka kejahatan terhadap perempuan dalam bentuk apapun baik itu secara fisik, mental dan lainnya seperti upaya “pembunuhan karakter” terhadap perempuan, seharusnya menjadi bagian dari “Extraordinary Crime” atau kejahatan luar biasa, yang harus secara tanggap untuk ditindak, utamanya bagi pemerintah yang dalam hal ini adalah “pemegang kemudi negara”.

secara “de jure” benar perempuan begitu dispesialkan bahkan diberi ruang khusus untuk berkembang seperti hak politik 30% kuota parlemen atau Undang-undang tentang pendidikan, TPKS, KDRT, Perlindungan perempuan dan masih banyak lainnya, yang secara khusus menjadi “grondslag wettelijke” bagi kaum perempuan untuk mendapatkan haknya. akan tetapi, secara “de facto” bila merujuk pada teori Lawrence M Friedman tentang keberhasilan sistem hukum maka apa yang menjadi Dasein Dasolen atah harapan dan kenyataan tentu tidak sesuai.

Bagaimana seorang perempuan dapat mempertahankan kemerdekaan berpikir dan bertindak ketika mereka harus berbagi ruang dengan dunia pemerintahan yang tampaknya enggan untuk merespons masalah yang ada? Dalam pandangan teoritis, kompleksitas masalah ini dapat menjadi sangat rumit saat kita memeriksa satu per satu penyebabnya. Akan Tetapi, jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih sederhana, pertanyaannya menjadi jelas: Bagaimana kita bisa menghapuskan stereotipe yang menghambat kemajuan perempuan di daerah kecil dengan luas wilayah hanya 4.244 km², sementara pada saat yang sama, kita masih membiarkan praktik jual beli minuman keras dan prostitusi berkembang dengan sangat baik, utamanya di daerah pariwisata?. Hal ini jelas akan berpengaruh signifikan terhadap pola berpikir masyarakat dan lingkungan hidup perempuan. 

Pertanyaan lainnya lalu bagaimana memanifestasikan perempuan sebagai perhiasan daerah di daerah berkebudayaan ini? dengan gelar “serambi madinah” dan dengan tanpa melanggar hak asasi manusianya?. bukankah hal ini menjadi sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan?. sebab pada akhirnya perempuan akan dihakimi oleh lingkungannya sendiri bak perumpamaan berlian tadi, “serba salah” menjadi perempuan!. 

Tidak heran ada trend baru dikalangan aktivis yang secara “sarkas” mempertanyakan kepada perempuan. apakah mereka ingin hidup dengan gaya perempuan berkebudayaan yang manut terhadap masyarakat patriarki atau justru hidup sebagai perempuan liberal yang merdeka akan tetapi siap dihujat, difitnah dan dihakimi oleh masyarakat primordial?. oh nestapa, bukankah tidak elok dan adil jika perempuan harus memilih persoalan ini padahal secara normatif mereka dibebaskan untuk menentukan sendiri cara hidup dan nilai yang dianut “Bhineka Tunggal Ika”.

Meski mata dan telinganya selama ini terbuka, semoga para pemimpin daerah ber-adat ini bisa merefleksikan kembali pesan leluhur “Tahuli” agar dapat mengaktualisasi dengan benar aturan tuhan secara adil. “Donggo ito taa ta’uwa, lipu hu’a aturuwa, maa dila li’u-li’uwa, wonu bolo o li’uwa, wu’udio opuluwa”, yang artinya selagi tuan menjadi ta’uwa atau pemimpin, negeri segeralah diatur, jangan diselewengkan, jika terselewengkan, aturan tegakkanlah. 

Akhir kata perjalanan menuju ruang merdeka bagi perempuan sebagai perhiasan budaya ini sangat kompleks, penuh tantangan dan melalui proses politik yang sangat panjang. penulis berdoa semoga di kemudian hari akan lahir pemimpin yang mampu mewujudkan rasa adil yang sebenar-benarnya adil, “adil sejak dalam pikiran” seperti kata Pramoedya ananta Toer bagi perempuan terutama perempuan Gorontalo. Pemimpin yang mengikuti hukum Allah seperti yang disebut dalam Q.S Al-Maidah, 49. bukan pemimpin yang kemudian dikecam oleh Allah SWT melalui ayat sebelumnya, yakni pemimpin yang tidak mau menerapkan hukum allah mereka yang dinilai kafir (Al-Maidah, 44) dinilai sebagai orang zalim (Al-Maidah, 45) dan dinilai sebagai orang fasik (Al-Maidah, 47). pemimpin yang “Openu mobuheto, wonu u maa delo-delo, taalalo” yang artinya walaupun berat, tapi kalau sudah menjadi barang bawaannya, maka patutlah untuk dijaga dengan baik dan bertanggung jawab. sehingga nanti akan tercipta ruang merdeka yang adil bagi perempuan tanpa harus menanggalkan perhiasan budaya.

Terimakasih

sucy pkcs

Iklan Idul Fitri KPU Pohuwato