Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kilas Balik Kasus PETI di Pohuwato Makan Korban

Kilas Balik Kasus PETI di Pohuwato Makan Korban



Iklan Idul Fitri KPU Pohuwato

Oleh: Yopi Y. Latif (Yoyo)

Ketua Mandataris Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Pohuwato

Berita Baru, Tajuk – Kematian penambang Kabilasa di Bulangita bukan sekadar tragedi di dasar lubang tambang. Ia adalah potret buram dari wajah hukum yang kehilangan daya di hadapan kekuasaan.

Dimana sebelumnya kasus yang sama pernah terjadi di lokasi Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Petabo. Dua lokasi berbeda, dua peristiwa terpisah, namun keduanya berkelindan dalam satu nadi yang sama, nyawa melayang, hukum diam.

Di Petabo 5 Juli 2025, sempat heboh, seorang penambang tewas tertimpa batu besar di area yang disebut-sebut dikelola oleh Jai Umuri, bahkan terinformasi, sempat masuk penyelidikan namun hilang tak tentu arah.

Diakhir Oktober tahun 2025, di Bulangita, dua penambang meregang nyawa setelah tertimbun material longsor di lokasi yang disebut berada di bawah kendali Ferdi Mardain.

Kedua peristiwa itu terjadi di wilayah tambang tanpa izin aktivitas yang secara hukum sudah jelas melanggar ketentuan perundang-undangan tentang pertambangan mineral dan batubara.

Namun yang lebih tragis bukan hanya kematiannya, melainkan reaksi hukum yang setengah hati. Seolah, setelah korban dikubur dan keluarga menerima santunan, perkara pun ikut dimakamkan bersama mereka.

• Hukum yang Mengendur di Hadapan Nama Besar

Pola yang muncul selalu sama. Begitu korban jatuh, narasi pembelaan segera dibangun, lokasi sudah tidak aktif, korban menambang atas kemauan sendiri, keluarga tidak menuntut. Narasi-narasi itu menjadi tameng yang menutupi tanggung jawab hukum dari pihak-pihak yang seharusnya diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban.

Padahal hukum pidana tidak mengenal alasan “tidak ada laporan keluarga”.

Kematian akibat kelalaian adalah delik murni artinya, penegak hukum wajib bertindak meski tanpa aduan. Dasarnya sangat jelas dalam Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

“Barang siapa karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”

Dalam dua kasus ini, unsur kelalaian tampak nyata, aktivitas pertambangan dilakukan tanpa izin, tanpa pengawasan keselamatan kerja, tanpa sistem pengamanan yang layak, dan menimbulkan korban jiwa. Itu sudah cukup untuk memicu penyelidikan pidana bukan sekadar simpati sosial.

Lebih jauh, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 158 menegaskan :

“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah.”

Dua dasar hukum ini sudah cukup untuk menjadi pijakan kuat bagi aparat penegak hukum agar tidak lagi menunggu atau menawar tindakan. Jika aparat tetap diam, maka diam itu sendiri menjadi bentuk kelalaian baru kelalaian yang berlapis.

• Keadilan Tidak Boleh Menjadi Barang Mewah

Kematian di tambang bukan sekadar akibat alam atau nasib buruk. Ia adalah konsekuensi dari pembiaran yang terstruktur. Ketika tambang tanpa izin dibiarkan beroperasi, ketika pemilik lokasi tidak pernah tersentuh hukum, ketika aparat sibuk mencari alasan, maka yang sesungguhnya mati bukan hanya para penambang, melainkan keadilan itu sendiri.

Sebagai Ketua Mandataris AKPERSI Pohuwato, saya mendesak agar Kepolisian, Kejaksaan, dan Pemerintah Daerah berhenti memperlakukan hukum seperti etalase: indah dilihat, tapi tidak pernah menyentuh kenyataan. Setiap orang, siapa pun dia, harus tunduk pada hukum yang sama. Tidak ada kekayaan, jabatan, atau pengaruh yang boleh menjadi pelindung dari pertanggungjawaban pidana.

Kita boleh menambang emas dari perut bumi, tetapi jangan menambang nyawa manusia untuk mengisi kantong segelintir orang. Karena bila hukum terus dibiarkan diam, maka setiap lubang tambang yang menelan korban sesungguhnya sedang menggali kuburan bagi keadilan.