Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Jurpi, SH., MH | Ketua Sekolah Anti Korupsi (Saksi) Provinsi Gorontalo.
Jurpi, SH., MH | Ketua Sekolah Anti Korupsi (Saksi) Provinsi Gorontalo.

JPU Kesulitan Membuktikan Dakwaannya (Episode 10)




Berita Baru, Gorontalo – Salah satu tugas utama seorang Jaksa Penuntut Umum (JPU) adalah membuat surat dakwaan guna mendalilkan sangkaannya kepada terdakwa. Konsekuensinya adalah pihak JPU dibebankan kewajiban untuk membuktikan apa yang ia dalilkan kepada terdakwa. Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu.

Sebagaimana kita ketahui bahwa JPU telah mendalilkan sebagaimana dalam dakwaannya kepada terdakwa AWB dengan bentuk dakwaan subsidaritas (pengganti). Dimana dakwaan Primer perbuatan terdakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan Dakwaan Subsider perbuatan terdakwa melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Bila kita mendalami Surat Dakwaan atas terdakwa AWB tertanggal 07 Desember 2020 dengan jumlah 59 halaman. Maka secara substansi yang dipersoalkan terletak pada Daftar Nominatif. Pertanyaan apakah dakwaan JPU telah terbukti selama pemeriksaan saksi-saksi?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, awak media kami mewawancarai Ketua Tim Monitoring Persidangan Bapak Jupri, SH.MH menyatakan bahwa walaupun tahapan untuk mempersoalkan surat dakwaan yang kabur tersebut telah dilakukan oleh kuasa hukum AWB dan ditolak. Akan tetapi, berakibat pada pembuktian oleh JPU. Pertama, AWB selalu Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Gorontalo maka tentunya dakwaan yang relevan untuk dibuktikan oleh JPU adalah dakwaan subsider perbuatan terdakwa melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun pasal ini berbunyi “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Salah satu unsur paling pentinya di Pasal 3 adalah unsur “menyalahgunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana” dan unsur “yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Bila kita hubungkan dengan daftar nominatif sebagaimana dalam dakwaan. Maka pertanyaannya apakah AWB memiliki kewenangan untuk membuat daftar nominatif? Jawabannya adalah Tidak. Sebagaimana Pasal 54 Perpres Nomor 71 Tahun 2012 menyatakan Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah membentuk Satuan Tugas (Satgas) membidangi inventarisasi dan identifikasi; (a) data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (b) data pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah. Sebagaimana keterangan saksi-saksi, maka daftar nominatif merupakan hasil dari Satgas B dari pihak BPN. Apapun yang dihasilkan dari daftar nominatif tersebut, apakah telah memenuhi persyaratan dokumen atau tidak bukanlah merupakan ranah kewenangan dari terdakwa AWB.

Kedua, saksi-saksi yang dihadirkan untuk pembuktian terhadap dalil yang didakwakan kepada AWB dalam hal ini dari unsur aparat desa maupun penerima pembayaran ganti kerugian tidak ada yang menyatakan bahwa AWB berada di lokasi pada saat pembuatan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik (SPPF). Malahan berdasarkan kesaksian mereka, saksi Kusno Katili dari pihak BPN lah yang menyediakan format SPPF yang kemudian diketik oleh pemerintah desa. Hal ini wajar sebab SPPF merupakan pengganti alas hak sertifikat guna kelengkapan dokumen.

Ketiga, dari pemeriksaan saksi-saksi belakang ini justru SPPF lah yang menjadi akar persoalan dari pembebasan lahan untuk pembangunan Gorontalo Outer Ring Road yang tidak sesuai dengan Perpres Nomor 71 Tahun 2012. Dimana penerbitan SPPF sekali lagi bukanlah kewenangan dari terdakwa AWB.

Terakhir, berkali-kali Ketua Majelis Hakim menyatakan agar JPU menghadirkan Ahli guna memberikan keterangan. Sebab ada sejumlah poin penting yang membutuhkanh keterangan ahli. Misalnya apakah KPA untuk pengadaan barang jasa jasa sama dengan KPA pengadaan tanah untuk kepentingan umum? Termasuk apakah sah suatu SPPF yang diterbitkan setelah validasi?

Berdasarkan poin-poin di atas, sangatlah terlihat jelas JPU mengalami kesulitan dalam membuktikan dakwaannya. Sebagai penutup saya ingin mengingatkan adegium hukum yang sangat terkenal yang kurang lebih berbunyi “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.

Iklan Idul Fitri KPU Pohuwato