Kampus Menghitung Kerugian Negara? (Episode 12)
Berita Baru, Gorontalo – Salah satu unsur paling penting dalam perbuatan yang dikriminalisasi sebagai tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Sebagaimana kita ketahui bersama setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 berubah menjadi delik materil bukan formil lagi.
Dalam amar putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Mahkamah menilai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan adanya akibat (delik materil). Secara tegas unsur kerugian keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan, melainkan harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata/aktual.
Atau dengan menghilangkan kata “dapat”, konsekuensinya jika akibat yang dilarang yakni “merugikan keuangan negara” belum atau tidak terjadi meski unsur secara melawan hukum dan unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi, maka berarti belum terjadi tindak pidana korupsi.
Karena pentingnya unsur kerugian keuangan negara ini, maka dibutuhkan suatu lembaga yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara. Menarik kemudian dalam pemeriksaan Ahli yang dihadirkan oleh JPU terkait perhitungan kerugian keuangan negara (Kamis, 1/4/2021). Dimana berdasarkan pantauan awak media kami, Ahli Akuntansi dari Universitas Gorontalo mengaku diminta oleh penyidik Kejati Gorontalo menghitung kerugian keuangan negara.
Oleh sebab itu, awak media kami memintai pendapat Bapak Jupri, SH.MH selaku Ketua Tim Monitoring Sidang sekaligus Dosen Pengajar Hukum Pidana Korupsi terkait apakah Perguruan Tinggi berwenang menghitung kerugian keuangan negara? Ia berpendapat bahwa secara konstitusional lembaga negara yang berwenang menghitung kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal tersebut termaktub dalam Pasal 23E ayat 1 UUD 1945. Selain itu diatur pula lebih khusus dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 10 ayat 1 menyatakan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga/ badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Selain BPK, kita juga mengenal lembaga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang biasa digunakan oleh Aparat Penegakan Hukum untuk menghitung Kerugian Keuangan Negara. Walaupun BPKP merupakan aparat pengawas internal pemerintah, tetapi dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 192 Tahun 2014, fungsi BPKP antara lain melakukan audit investigasi terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit perhitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi (vide: Pasal 3 huruf e).
Artinya bahwa BPK dan BPKP memiliki dasar hukum yang jelas dalam menghitung kerugian keuangan negara. Bila dihubungkan dengan keterangan Ahli Akuntansi yang menyatakan bahwa perkara Gorontalo Outer Ring Road (GORR) merugikan keuangan negara Rp. 85 Miliar tentu tidak bisa dijadikan dasar. Sebab, Perguruan Tinggi bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara.
Apalagi Ahli pun mengakui bahwa bukanlah penerima mandat dari BPK atau BPKP suntuk melakukan perhitungan, melainkan permintaan penyidik dan diberikan surat tugas oleh Rektor. Pun Ahli mengakui ketika ditanya oleh Ketua Majelis Hakim bahwa Ahli secara umum tidak pernah mengikuti pelatihan perhitungan kerugian keuangan negara serta tidak tahu metode menghitung kerugian keuangan negara tersebut.
Jupri, SH.MH menambahkan bahwa kiranya ke depan Aparat Penegakan Hukum jangan sekali-kali meminta lembaga selain dari BPK atau BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara apalagi menggunakan hasil perhitungan lembaga tersebut untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sebab tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan merugikan orang yang ditetapkan tersangka tersebut.
Pemeriksaan Ahli ini pun, diwarnai dengan aksi penolakan dari Kuasa Hukum terdakwa AWB. Karena Ahli bukanlah Ahli yang diutus oleh BPK. Pemeriksaan kemudian dinyatakan selesai pada pukul 16: 24 WITA.