
Bumi Panua Aman dan Damai, AMBEPEDA Ingatkan September Kelabu

Berita Baru, Tajuk – Dua tahun terakhir, Pohuwato seakan dipaksa hidup dalam bayang-bayang luka. 21 September 2023 menjadi titik kelabu dalam perjalanan demokrasi rakyat di Bumi Panua.
Tanggal itu bukan sekadar catatan kalender, tetapi menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan modal yang kian menindas. Luka itu masih terasa hingga hari ini, bahkan kian menganga karena tidak pernah ada upaya serius untuk menyembuhkan.
Aliansi Masyarakat Bersama Penambang Daerah (AMBEPEDA) memandang bahwa periode 2023–2025 adalah tahun-tahun penuh pengkhianatan terhadap janji keadilan sosial. Rakyat Pohuwato, khususnya masyarakat adat dan penambang kecil, justru semakin dipinggirkan oleh kebijakan tambang yang hanya menguntungkan segelintir elite. Negara dan perusahaan bersekutu dalam mengeksploitasi sumber daya, sementara rakyat hanya mewarisi krisis dan penderitaan.
September yang Membekas
September kelabu 2023 tidak boleh dilupakan. Saat itu, rakyat menyuarakan keadilan, tetapi dijawab dengan tindakan represif. Pohuwato menjadi saksi bagaimana suara hati rakyat dipaksa bungkam oleh kekuatan modal dan kekuasaan. Itu bukan sekadar tragedi, melainkan bukti nyata bahwa pemerintah lebih memilih berpihak pada perusahaan ketimbang masyarakat yang hidup di atas tanahnya sendiri.
Kini, menjelang akhir 2025, AMBEPEDA melihat bayangan kelabu itu belum juga sirna. Persoalan yang dulu memicu amarah rakyat tetap berulang:
• Penciutan wilayah tambang yang mengorbankan hak hidup masyarakat.
• Krisis air bersih yang kian parah di Desa Hulawa.
• Kerusakan jalan desa yang tidak pernah diperbaiki meski perusahaan terus mengeruk hasil bumi.
• Ketenagakerjaan yang timpang, di mana tenaga lokal hanya jadi penonton.
• CSR perusahaan yang gelap, tidak transparan, dan tidak menyentuh kebutuhan rakyat.
Semua itu adalah bukti bahwa pemerintah dan perusahaan tidak pernah belajar dari tragedi 2023.
Jangan Biarkan Luka Berulang
AMBEPEDA menegaskan, rakyat Pohuwato tidak ingin September kelabu menjadi siklus tahunan. Jangan sampai 2025 kembali menjadi tahun pengkhianatan. Masyarakat sudah terlalu lama dipaksa menanggung derita: kehilangan tanah adat, kehilangan mata pencaharian, hingga kehilangan rasa aman.
Kami mengingatkan dengan tegas: bila perusahaan dan pemerintah terus menutup telinga, maka perlawanan rakyat tidak bisa dibendung. Luka September 2023 adalah peringatan, dan rakyat Pohuwato tidak akan tinggal diam bila sejarah kelam itu kembali diputar.
Konteks Negara dan Konstitusi
Syarat berdirinya sebuah negara adalah adanya penduduk tetap, wilayah yang pasti, pemerintahan yang berdaulat, serta kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain. Syarat ini menjadi dasar bahwa sebuah negara tidak boleh berdiri hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk seluruh rakyat yang hidup dan menetap di dalamnya.
Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini menegaskan kedaulatan negara atas sumber daya alam untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya sekelompok elite. Lebih dari itu, pasal ini menggarisbawahi pentingnya pengelolaan yang bijaksana, berkelanjutan, dan adil demi kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itu, Korporasi tidak boleh memandang remeh masyarakat. Mereka adalah penduduk tetap yang sah, bagian tak terpisahkan dari syarat berdirinya negara. Mengabaikan suara mereka sama saja dengan merobek fondasi kedaulatan itu sendiri.
Penutup
September kelabu adalah simbol perlawanan sekaligus pengingat bagi semua pihak bahwa rakyat bukan sekadar objek eksploitasi. Dari 2023 hingga 2025, AMBEPEDA berdiri di garda depan untuk memastikan suara rakyat tidak lagi dipadamkan.
Bumi Panua bukan milik modal, melainkan milik rakyat. Dan selama ketidakadilan masih merajalela, perlawanan akan terus hidup.
Berita Baru, Tajuk – Dua tahun terakhir, Pohuwato seakan dipaksa hidup dalam bayang-bayang luka. 21 September 2023 menjadi titik kelabu dalam perjalanan demokrasi rakyat di Bumi Panua.
Tanggal itu bukan sekadar catatan kalender, tetapi menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan modal yang kian menindas. Luka itu masih terasa hingga hari ini, bahkan kian menganga karena tidak pernah ada upaya serius untuk menyembuhkan.
Aliansi Masyarakat Bersama Penambang Daerah (AMBEPEDA) memandang bahwa periode 2023–2025 adalah tahun-tahun penuh pengkhianatan terhadap janji keadilan sosial. Rakyat Pohuwato, khususnya masyarakat adat dan penambang kecil, justru semakin dipinggirkan oleh kebijakan tambang yang hanya menguntungkan segelintir elite. Negara dan perusahaan bersekutu dalam mengeksploitasi sumber daya, sementara rakyat hanya mewarisi krisis dan penderitaan.
September yang Membekas
September kelabu 2023 tidak boleh dilupakan. Saat itu, rakyat menyuarakan keadilan, tetapi dijawab dengan tindakan represif. Pohuwato menjadi saksi bagaimana suara hati rakyat dipaksa bungkam oleh kekuatan modal dan kekuasaan. Itu bukan sekadar tragedi, melainkan bukti nyata bahwa pemerintah lebih memilih berpihak pada perusahaan ketimbang masyarakat yang hidup di atas tanahnya sendiri.
Kini, menjelang akhir 2025, AMBEPEDA melihat bayangan kelabu itu belum juga sirna. Persoalan yang dulu memicu amarah rakyat tetap berulang:
• Penciutan wilayah tambang yang mengorbankan hak hidup masyarakat.
• Krisis air bersih yang kian parah di Desa Hulawa.
• Kerusakan jalan desa yang tidak pernah diperbaiki meski perusahaan terus mengeruk hasil bumi.
• Ketenagakerjaan yang timpang, di mana tenaga lokal hanya jadi penonton.
• CSR perusahaan yang gelap, tidak transparan, dan tidak menyentuh kebutuhan rakyat.
Semua itu adalah bukti bahwa pemerintah dan perusahaan tidak pernah belajar dari tragedi 2023.
Jangan Biarkan Luka Berulang
AMBEPEDA menegaskan, rakyat Pohuwato tidak ingin September kelabu menjadi siklus tahunan. Jangan sampai 2025 kembali menjadi tahun pengkhianatan. Masyarakat sudah terlalu lama dipaksa menanggung derita: kehilangan tanah adat, kehilangan mata pencaharian, hingga kehilangan rasa aman.
Kami mengingatkan dengan tegas: bila perusahaan dan pemerintah terus menutup telinga, maka perlawanan rakyat tidak bisa dibendung. Luka September 2023 adalah peringatan, dan rakyat Pohuwato tidak akan tinggal diam bila sejarah kelam itu kembali diputar.
Konteks Negara dan Konstitusi
Syarat berdirinya sebuah negara adalah adanya penduduk tetap, wilayah yang pasti, pemerintahan yang berdaulat, serta kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain. Syarat ini menjadi dasar bahwa sebuah negara tidak boleh berdiri hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk seluruh rakyat yang hidup dan menetap di dalamnya.
Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini menegaskan kedaulatan negara atas sumber daya alam untuk kepentingan seluruh masyarakat, bukan hanya sekelompok elite. Lebih dari itu, pasal ini menggarisbawahi pentingnya pengelolaan yang bijaksana, berkelanjutan, dan adil demi kesejahteraan bangsa.
Oleh karena itu, Korporasi tidak boleh memandang remeh masyarakat. Mereka adalah penduduk tetap yang sah, bagian tak terpisahkan dari syarat berdirinya negara. Mengabaikan suara mereka sama saja dengan merobek fondasi kedaulatan itu sendiri.
Penutup
September kelabu adalah simbol perlawanan sekaligus pengingat bagi semua pihak bahwa rakyat bukan sekadar objek eksploitasi. Dari 2023 hingga 2025, AMBEPEDA berdiri di garda depan untuk memastikan suara rakyat tidak lagi dipadamkan.
Bumi Panua bukan milik modal, melainkan milik rakyat. Dan selama ketidakadilan masih merajalela, perlawanan akan terus hidup.