
Sambut Emas Pani, Menimbang Risiko di Balik IPO MDKA

Berita Baru, Opini – Ketika PT Merdeka Gold Resources (EMAS), anak usaha dari Merdeka Copper Gold (MDKA), memutuskan masuk bursa lewat penawaran umum perdana Initial Public Offering (IPO) atau penawaran umum perdana saham dan kabar baik ini disambut banyak.
Proyek emas gunung Pani, yang menjadi andalan perusahaan ini, disebut sebagai salah satu tambang emas terbesar di Asia Tenggara. Investor besar, bank, dan analis pasar langsung menyoroti potensi keuntungan yang bisa digali.
Tapi di balik angka-angka manis itu, ada pertanyaan yang lebih mendasar, *apa arti IPO ini bagi rakyat, khususnya masyarakat di sekitar tambang dan investor kecil yang mungkin membeli sahamnya?*
Struktur Kepemilikan, Kuasa Tetap di Tangan Konglomerat
Setelah IPO, peta kepemilikan EMAS terlihat jelas ;
* **MDKA** tetap jadi pengendali dengan porsi sekitar 56,5%.
* **Saham treasuri** 9% memberi ruang fleksibilitas perusahaan.
* *Masyarakat* 34,5%, termasuk 10% saham IPO dan beberapa individu/institusi minoritas.
Kalau dilihat sekilas, angka 34,5% untuk masyarakat terlihat besar. Tapi ketika diperinci, sebagian porsi itu justru dikuasai oleh figur elit: Winato Kartono dengan 8,36%, Garibaldi Thohir dengan sekitar 5,6%, ditambah nama-nama lain yang dekat dengan lingkaran bisnis dan politik nasional. Dengan kata lain, *“masyarakat” di sini bukan semata rakyat kecil, tapi juga para taipan yang sudah mapan.*
Di tengah semua itu, ada satu nama yang menarik: *Koperasi Unit Desa (KUD) Dharma Tani*, pemegang sekitar 0,46%. Secara angka, porsinya sangat kecil. Tapi secara simbolik, ini seperti upaya menunjukkan bahwa ada perwakilan rakyat desa dalam struktur kepemilikan. Sayangnya, porsi sekecil ini tidak cukup untuk memberi pengaruh berarti pada arah kebijakan perusahaan. Koperasi hanya punya kursi kecil di meja besar yang dikuasai konglomerat.
Peluang dan Risiko bagi Investor Ritel
Bagi rakyat biasa yang membeli saham IPO, peluangnya nyata, tapi risikonya juga tinggi. Jika proyek emas Pani berjalan sesuai rencana, tambang berproduksi optimal, dan harga emas global menguat, harga saham EMAS bisa melonjak. Investor kecil bisa ikut menikmati kenaikan nilai saham.
Namun, jangan lupa, IPO ini sebagian besar bertujuan untuk melunasi utang dan membiayai pembangunan fasilitas pengolahan tambang. Artinya, dana publik dipakai untuk memperkuat struktur keuangan perusahaan, bukan langsung dibagikan sebagai dividen. Dalam jangka pendek, rakyat kecil mungkin justru jadi “penyangga” risiko membeli saham di harga tinggi, lalu menunggu bertahun-tahun sebelum ada hasil nyata.
Tambang juga bukan bisnis yang bebas risiko. Ada potensi penundaan proyek, fluktuasi harga emas dunia, hingga masalah sosial dan lingkungan. Kalau salah satu faktor ini terganggu, saham bisa jatuh dan rakyat kecil yang menanggung kerugian. Sementara pemegang saham besar masih bisa bertahan karena punya modal dan jaringan yang kuat.
Apa Arti “Kepemilikan Rakyat”?
Banyak perusahaan besar menggunakan narasi bahwa IPO memberi kesempatan rakyat untuk ikut memiliki “aset bangsa”. Secara teori benar—siapa pun bisa membeli saham. Tapi kepemilikan sejati bukan hanya soal angka, melainkan soal *pengaruh dan distribusi manfaat*.
Jika koperasi desa hanya punya kurang dari setengah persen, apa bisa disebut rakyat sudah ikut memiliki? Kalau masyarakat lokal hanya jadi tenaga kerja kasar sementara keuntungan besar mengalir ke Jakarta dan Singapura, apa benar tambang ini membawa kesejahteraan?
Yang lebih penting bagi rakyat sebenarnya bukan sekadar saham, melainkan:
* Apakah ada lapangan kerja berkualitas yang tercipta?
* Apakah kontraktor lokal diberi ruang untuk tumbuh?
* Apakah perusahaan menjaga lingkungan agar generasi berikutnya tidak menanggung kerusakan?
* Apakah keuntungan yang dihasilkan dibagi secara adil, termasuk lewat program tanggung jawab sosial yang nyata?
Tanpa itu semua, kepemilikan saham hanyalah simbol. Rakyat bisa membeli selembar dua lembar saham, tapi kuasa tetap di tangan elit.
Kapitalisme Berwajah Rakyat
IPO EMAS pada akhirnya mencerminkan pola kapitalisme Indonesia hari ini: *kapitalisme berwajah rakyat.* Ada ruang bagi masyarakat untuk ikut serta, tapi lebih sering hanya sebagai ornamen. Kendali tetap pada pemodal besar, sementara rakyat kecil ditempatkan di pinggir arena.
Apakah ini buruk? Tidak selalu. Jika perusahaan benar-benar menjalankan prinsip *good corporate governance*, transparansi, dan keberpihakan sosial, IPO bisa menjadi pintu masuk bagi distribusi manfaat yang lebih merata. Namun, tanpa regulasi yang kuat dan pengawasan pemerintah, IPO ini berisiko hanya menjadi pesta segelintir orang
IPO EMAS adalah langkah besar di pasar modal, tapi bukan jaminan bagi kesejahteraan rakyat.
*Bagi investor ritel*, ini peluang spekulatif: ada potensi cuan, tapi juga risiko kerugian besar.
*Bagi masyarakat lokal*, manfaat nyata lebih tergantung pada kebijakan sosial perusahaan daripada sekadar kepemilikan saham.
*Bagi konglomerat*, ini cara cerdas menghimpun dana publik untuk membiayai ekspansi tambang jangka panjang.
Nasib rakyat tidak akan otomatis berubah hanya karena ada koperasi desa dalam daftar pemegang saham. Rakyat butuh lebih dari sekadar angka 0,46% mereka butuh perlindungan lingkungan, pekerjaan layak, dan distribusi keuntungan yang adil.
IPO ini akan menentukan: apakah Indonesia benar-benar bisa menjadikan sumber daya alamnya sebagai berkah bagi banyak orang, atau sekali lagi hanya menjadi ladang emas bagi segelintir elit.
(Penulis : YYL/SA)