Pertanggungjawaban Perkara GORR, Keterangan Ahli (Episode 13)
“Catatan Monitoring Sidang”
Berita Baru, Gorontalo – Setelah Minggu sebelumnya, para terdakwa menghadirkan saksi meringankan ( a de charge). Maka kemarin (12/4/2021), giliran kuasa hukum terdakwa menghadirkan Ahli.
Ahli-ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum para terdakwa diantaranya dari Kementerian Keuangan, unsur Dewan Penilai dari organisasi Profesi Apraisal, Pakar Agraria dari Universitas Andalas dan terakhir Pakar Hukum Pidana Dr. Mudzakkir, SH.MH.
Adapun sejumlah poin penting yang menarik dari keterangan para Ahli. Pertama, Ahli dari Dewan Penilai Asosiasi Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) menjelaskan terkait bagaimana mekanisme penilaian yang digunakan dalam profesi Apraisal baik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan internal yang dianut profesinya. Poin ini sangatlah penting untuk membantah dalil JPU yang menyatakan bahwa Apraisal melakukan kesalahan penilaian yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Hanya saja dalil ini lemah karena JPU tidak menghadirkan atau memperlihatkan hasil perhitungan pembanding dari Apraisal lain. Belum lagi tidak adanya standarisasi harga penilaian yang sama seluruh Indonesia. Misalnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bukanlah lagi standar satu-satunya dalam melakukan penilai.
Kedua, Ahli menyatakan bahwa harusnya Aparat Penegakan Hukum (APH) bila merasa ada kesalahan perhitungan atau ganjil yang dilakukan oleh Apraisal. Maka mekanisme yang dilakukan adalah melakukan pengaduan kepada Dewan Penilai Asosiasi Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). Maka, MAPPI akan melakukan pemeriksaan termasuk melakukan penilaian pembanding untuk menilai apakah terjadi kesalahan penilaian atau tidak. Pada poin ini, penyidik Kejati Gorontalo tidak pernah melakukan hal tersebut.
Ketiga, Apraisal tidak bisa menolak hasil peta bidang dan daftar nominatif yang diserahkan Ketua Pelaksana pengadaan tanah untuk dinilai. Sebab seorang Apraisal harus tunduk pada kontrak kerja dengan pihak yang menggunakan jasa penilai. Kalau pun ada yang keliru dilapangan, maka Apraisal cukup wajib menyampaikan kepada Tim pelaksana. Poin ini juga penting karena, JPU menyatakan harusnya pihak Apraisal menolak daftar nominatif yang masih belum lengkap.
Selain poin-poin di atas, keterangan Ahli Pidana Dr. Mudzakkir, SH.MH dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menarik perhatian. Pemeriksaan Ahli yang dilakukan secara virtual yang sempat tertunda ini, mulai pada pukul 20:44 WITA sampai pukul 22:25 WITA
Pertama, Ahli Pidana menyatakan bahwa unsur penting dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 Jo UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah unsur “perbuatan melawan hukum, unsur penyalahgunaan wewenang dan unsur “mengakibatkan kerugian keuangan negara”. Artinya seseorang kemudian terpenuhi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 haruslah ada niat kriminal (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi.
Unsur “mengakibatkan kerugian keuangan negara”, Ahli berpendapat bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 berubah menjadi delik materil karena frasa “dapat” dihapus. Konsekuensinya maka harus ada lembaga yang berwenang melakukan perhitungan kerugian keuangan negara. Dan menurut Ahli itu adalah kewenangan konstitusional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia. Dasar argumentasinya adalah karena BPK diatur dalam UUD 1945 dan UU BPK itu sendiri. Dimana BPK berwenang menghitung kerugian negara dan melakukan audit investigasi. Sedangkan lembaga lain, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tidak berwenang sebab lembaga tersebut dibentuk sebagai pengawas internal. Sehingga kerja perhitungan BPKP tidak bisa dijadikan dasar oleh APH untuk menyatakan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Kedua, perbuatan melawan hukum perdata, perbuatan melawan hukum Administrasi Negara berbeda dengan perbuatan melawan hukum pidana. Hal ini penting dipertegas karena jangan sampai Maladministrasi kemudian dinyatakan korupsi. Sebab bisa saja terpenuhi unsur-unsur pasal Tipikor akan tetapi tidak ada perbuatan melawan hukumnya atau mens reanya tidak ada, maka putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (Onslaag). Kalau ternyata ada masalah hukum Administrasi Negara bergeser ke hukum pidana karena ada niat jahat, maka pertanggungjawaban pidana haruslah menggunakan teori individualisir.
Terkait pendapat Ahli Pidana tersebut, awak media kami mewawancarai Bapak Jupri, SH.MH selaku Dosen Hukum Pidana Universitas Ichsan Gorontalo dan Ketua Tim Monitoring Sidang GORR menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana memang berbeda dengan pertanggungjawaban perdata atau administrasi negara. Misalnya pendapat Ahli Agraria dari Universitas Brawijaya yang dihadirkan oleh JPU, yang menyatakan bahwa semua yang ada disebutkan dalam perkara GORR harus bertanggung jawab semuanya. Menurut Jupri, itu sah-sah saja bila menggunakan kacamata Hukum Perdata karena dikenal pertanggungjawaban secara tanggung renteng. Akan tetapi, secara pidana tidak demikian. Maka ia sepakat dengan pendapat Ahli dari Universitas Islam Indonesia yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana haruslah menggunakan teori individualisir.
Jupri, SH.MH menambahkan bahwa dalam ajaran kausalitas ada beberapa teori. Pertama, teori conditio sine qua non. Menurut teori ini, suatu tindakan harus merupakan syarat mutlak bagi keberadaan sifat tertentu. Semua syarat (sebab) harus dipandang sentara. Kedua, teori generalisasi. Teori ini, hanya mencari satu saja dari sekian banyak sebab yang menimbulkan akibat yang dilarang. Ketiga, teori Individualisasi/causa proxima. Teori ini, sebab adalah syarat yang paling dekat dan tidak dapat dilepaskan dari akibat. Suatu peristiwa pidana dilihat secara in concreto. Menurut pandangan individual yaitu hanya ada satu syarat sebagai musabab timbulnya akibat.
Sebagai penutup mengenai pertanggungjawaban pidana, maka harus dilihat terpenuhi tidaknya unsur pidana serta unsur kesalahan dari tindak pidana yang dikenakan terhadap terdakwa Gorontalo Outer Ring Road (GORR). Bila unsur kesalahan tidak terpenuhi, maka Jaksa Penuntut Umum harus berani menuntut bebas.